Hasil penelitian yang dilakukan Woman Research Institute (WRI) selama 2007 di tujuh kabupaten di Indonesia menunjukkan, hingga kini sebagian perempuan dari keluarga miskin masih memilih menggunakan jasa dukun beranak untuk membantu proses persalinan.
"Jaminan pelayanan kesehatan gratis ternyata tidak serta merta mengurangi pilihan perempuan miskin untuk ke dukun. Ini masih terjadi di beberapa daerah seperti di Lebak, Lampung Utara dan Sumba Barat," kata Direktur Penelitian WRI Edriana Noerdin saat memaparkan hasil penelitian di Jakarta, Senin.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Lampung Utara (Lampung), Lebak (Banten), Indramayu (Jawa Barat), Solo (Jawa Tengah), Jembrana (Bali), Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat), dan Sumba Barat (Nusa Tenggara Timur), hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor.
Faktor yang berpengaruh, menurut Edriana, meliputi belum meratanya sosialisasi layanan kesehatan gratis, tingkat pendidikan dan pendapatan, jumlah anak, jarak rumah dan fasilitas/tenaga kesehatan serta besarnya biaya persalinan di fasilitas/tenaga kesehatan.
"Semakin rendah tingkat pendidikan dan pendapatan, pilihan persalinan semakin banyak ke dukun. Semakin banyak anak pilihan persalinan semakin banyak ke dukun. Semakin jauh dan semakin sulit jarak tempuh ke fasilitas/tenaga kesehatan, dukun menjadi alternatif pilihan utama," kata Edriana.
Apalagi, ia menambahkan, dukun lebih mudah diakses karena lebih dekat dengan masyarakat dan lebih dipercaya, pelayanannya dianggap paripurna dan pembayarannya lebih fleksibel karena kadang bisa dibayar dengan barang.
Ia menjelaskan pula bahwa menurut hasil penelitian, sebagian besar perempuan miskin memandang biaya persalinan di fasilitas/tenaga kesehatan mahal, minimal Rp300 ribu, sementara biaya persalinan di dukun beranak kurang dari Rp300 ribu.
Edriana menambahkan, kendati fasilitas dan tenaga kesehatan rata-rata cukup tersedia di semua daerah namun menurut sebagian besar perempuan miskin jarak antara tempat tinggal mereka dengan fasilitas/tenaga kesehatan cukup jauh, waktu tempuhnya lama dan biaya transportasinya mahal.
Berkenaan dengan hal itu, Direktur Bina Kesehatan Ibu Departemen Kesehatan Dr. Lukman Hendro Laksmono, MBA (HPN) menjelaskan bahwa persalinan yang tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan trampil memang meningkatkan resiko kematian ibu melahirkan.
Namun demikian, kata dia, dukun beranak yang seringkali dipilih ibu hamil untuk membantu persalinan secara tradisional tidak bisa langsung dihilangkan keberadaannya.
"Karena mereka telah sejak lama menjadi bagian dari tradisi dan hingga kini masih banyak dipercaya untuk membantu persalinan," katanya.
Oleh karena itu, kata Lukman, dalam kebijakannya Departemen Kesehatan juga tak hendak langsung menghapuskan peran dukun beranak dalam proses persalinan.
Pihaknya, kata Lukman, justru berupaya membangun kemitraan antara bidan dan dukun untuk menurunkan angka kematian ibu melahirkan.
"Dalam kemitraan itu, ada pembagian tugas antara bidan dan dukun, bidan bertugas membantu keseluruhan proses kelahiran dan dukun membantu kegiatan lain di luar persalinan seperti membawa ibu hamil ke tenaga kesehatan, memandikan bayi dan yang lainnya," jelas Lukman.
Pihaknya, lanjut dia, juga memberikan pelatihan bagi dukun dan mendidik keturunan para dukun menjadi bidan.
"Profesi dukun beranak kan biasanya diturunkan, dengan mendidik keturunan mereka menjadi bidan harapannya selanjutnya tidak ada lagi keturunannya menjadi dukun," demikian Lukman.(*)